Analisis Hukum atas UU BUMN Baru & Danantara: Kekhawatiran yang Sah atau Paranoia yang Tak Berdasar?

RUU baru yang merevisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan resmi didaftarkan oleh Kementerian Sekretariat Negara sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025. Ini menandai perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU baru ini juga menandai kemenangan Teori Korporasi dalam Hukum Keuangan Negara, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H., dalam perdebatan panjang melawan aliran pemikiran Teori Sumber.

Teori Sumber menyatakan bahwa karena BUMN menerima modalnya dari negara, asetnya harus dianggap sebagai dana publik, sehingga tunduk pada pengawasan negara dan pemeriksaan hukum yang ketat seperti halnya lembaga pemerintah. Sebaliknya, Teori Korporasi berpendapat bahwa setelah negara menyuntikkan modal ke BUMN, perusahaan tersebut harus beroperasi sebagai badan hukum yang terpisah, seperti halnya perusahaan swasta, dengan otonomi keuangan dan operasionalnya sendiri. 

UU BUMN Baru sejalan dengan Teori Korporasi dengan memperkuat pemisahan aset antara negara dan BUMN, mengikuti prinsip-prinsip perseroan terbatas. Dengan demikian, UU BUMN memperkuat perbedaan hukum antara dana negara dan aset perusahaan, yang memungkinkan BUMN untuk beroperasi dengan fleksibilitas yang lebih besar dan mengurangi campur tangan birokrasi sambil tetap bertanggung jawab berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan daripada kontrol keuangan pemerintah yang kaku.


Dari Ex Post ke Ex Ante Sebuah Pergeseran Paradigma

UU BUMN sebelumnya, bersama dengan UU Tipikor, beroperasi dengan paradigma ex-post yang berlandaskan pada Teori Sumber. Paradigma ex-post (setelah kejadian—mencari siapa yang harus disalahkan) ini berfokus pada penentuan tanggung jawab setelah kejadian dengan menyalahkan individu-individu seperti anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN. Akibatnya, banyak anggota dewan menjadi ragu-ragu dalam mengambil keputusan, karena khawatir tindakan apa pun akan mengakibatkan kerugian keuangan negara tanpa memperhatikan maksud dan dapat membuat mereka menghadapi tanggung jawab pribadi dan ancaman pidana.

Oleh karena itu, kealpaan tindakan (omission)—tidak melakukan apa pun—menjadi pilihan yang paling aman, karena jauh lebih sulit untuk membuktikan kelalaian atau kesalahan dalam kasus-kasus yang tidak ada keputusan langsung yang diambil. Paradigma ex-post ini menciptakan budaya penghindaran risiko yang berlebih di dalam BUMN, di mana para eksekutif lebih fokus untuk menghindari potensi akibat hukum daripada membuat keputusan strategis yang dapat mendorong pertumbuhan dan efisiensi bisnis. Dari waktu ke waktu, kekhawatiran mereka menghambat inovasi, memperlambat proses pengambilan keputusan, dan melemahkan efektivitas keseluruhan perusahaan milik negara dalam menjalankan mandat ekonomi dan layanan publik mereka.

Di sisi lain, UU BUMN yang baru beralih ke paradigma ex-ante (sebelum fakta—memprediksi dampak dari hukum atau putusan) yang didasarkan pada Teori Korporasi, dengan menghapuskan disinsentif yang terkait dengan UU BUMN yang lama. Pendekatan baru ini menekankan bahwa selama anggota dewan bertindak dengan itikad baik, melakukan due dilligence, dan demi kepentingan terbaik perusahaan, mereka dilindungi berdasarkan prinsip business judgement rule. 

Setidaknya ada tiga perubahan paling penting pada undang-undang baru tersebut:

  1. Modal BUMN tidak lagi dianggap aset negara;
  2. Penghapusan Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris, dan Anggota Dewan Pengawas BUMN dari golongan penyelenggara negara;
  3. Penunjukan akuntan publik sebagai auditor eksternal untuk audit tahunan, menggantikan mekanisme audit eksternal sebelumnya, dan membatasi peran Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT);

Perubahan-perubahan baru ini menghilangkan rasa takut akan kriminalisasi di antara anggota dewan direksi maupun komisaris, memastikan bahwa mereka tidak dimintai pertanggungjawaban pribadi atas kerugian finansial yang diakibatkan oleh keputusan bisnis yang dibuat dengan cara yang jujur ​​dan hati-hati. Perlindungan ini mendorong mereka untuk mengambil risiko yang diperhitungkan yang diperlukan untuk pertumbuhan perusahaan dan keberlanjutan jangka panjang, tanpa ancaman akibat hukum yang membayangi. Undang-undang baru ini menekankan business judgement rule sebagai perlindungan, mencegah kriminalisasi anggota dewan direksi karena membuat keputusan yang mungkin tidak menghasilkan hasil yang diharapkan tetapi wajar pada saat dibuat. Hasilnya, undang-undang baru ini mendorong lingkungan perusahaan yang lebih proaktif dan dinamis dalam BUMN, di mana para eksekutif diberdayakan untuk fokus pada pengambilan keputusan strategis daripada dilumpuhkan oleh rasa takut akan tuntutan hukum.


Kekhawatiran yang Sah vs. Paranoia yang Tak Berdasar – UU BUMN Baru & Danantara

UU BUMN yang baru telah menimbulkan kekhawatiran akan melemahkan akuntabilitas tindak pidana korupsi berdasarkan UU Pemberantasan Korupsi dan UU BUMN sebelumnya. Kritikus berpendapat bahwa UU ini dapat menciptakan ruang bagi individu untuk menghindari tanggung jawab, terutama terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi, yang memberikan hukuman penjara bagi mereka yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau perbuatannya dianggap merugikan keuangan negara.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor memberikan sanksi kepada orang yang secara melawan hukum melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang perbuatannya merugikan negara dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup. Sementara itu, Pasal 3 menyebutkan orang yang menyalahgunakan jabatan atau wewenangnya untuk keuntungan pribadi atau korporasi, dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan paling lama dua puluh tahun atau seumur hidup. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dengan meminta pertanggungjawaban orang yang melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara

Meskipun UU BUMN yang baru bergeser ke paradigma ex-ante dengan mengutamakan asas business judgement rule, bukan berarti UU ini memungkinkan para koruptor terbebas dari korupsi. Sebaliknya, UU ini menegaskan bahwa anggota dewan direksi yang beritikad baik dan melakukan due dilligence tidak boleh dikriminalisasi atas keputusan bisnis yang tidak membuahkan hasil yang diharapkan. UU ini tetap menjunjung tinggi akuntabilitas atas tindak pidana korupsi, memastikan bahwa mereka yang beritikad buruk atau terlibat dalam kegiatan penipuan maupun penggelapan untuk memperkaya diri sendiri maupun keluarganya untuk kepentingan politik dapat dikenakan ancaman pidana.

Alih-alih membenarkan korupsi, UU BUMN yang baru bertujuan untuk mencapai keseimbangan penting—mendorong pendekatan yang efisien dan berorientasi bisnis di BUMN sambil mempertahankan akuntabilitas hukum yang ketat atas pelanggaran yang nyata. UU tersebut mengakui bahwa tata kelola yang efektif memerlukan fleksibilitas untuk membuat keputusan strategis dan kerangka hukum yang kuat untuk mencegah dan menghukum korupsi jika memang terjadi. Perubahan ini bukan tentang melindungi para direksi maupun dewan direksi dari pengawasan, tetapi tentang memastikan mereka memiliki keyakinan untuk bertindak demi kepentingan terbaik BUMN tanpa takut dikriminalisasi.

Perubahan paradigma dalam UU BUMN Indonesia memiliki implikasi nyata bagi masyarakat di BUMN dan di luar BUMN. Selama ini, para petinggi BUMN dilumpuhkan oleh rasa takut, menghindari keputusan yang penting namun berisiko untuk melindungi diri dari kriminalisasi yang salah. Paradigma baru ini berupaya memutus siklus tersebut dengan mendorong pengambilan keputusan yang berani, bertanggung jawab, dan strategis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan layanan publik, dan menciptakan BUMN yang lebih kuat dan lebih kompetitif. Pada saat yang sama, hal itu tidak mengabaikan akuntabilitas. Sebaliknya, hal itu mengalihkan fokus dari kerugian keuangan negara ke tugas kehati-hatian, dan asas business judgement rule.

Bagi Danantara, perubahan ini sangat penting—kealpaan tindakan (omission), atau memilih untuk tidak bertindak, tidak akan lagi menjadi pilihan yang lebih aman daripada kesalahan. Para pengambil keputusan kini diharapkan untuk mengambil risiko yang diperhitungkan guna menghasilkan pendapatan bagi BUMN daripada bersembunyi di balik kelambanan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini mendorong budaya bisnis yang lebih menghargai kemajuan daripada stagnasi, memastikan bahwa BUMN Indonesia diberdayakan untuk melayani kepentingan publik secara lebih efektif.

Danantara merupakan langkah maju yang berani dalam pendekatan Indonesia terhadap badan usaha milik negara. Sebagai perusahaan induk strategis yang mengonsolidasikan aset-aset nasional utama, Danantara dirancang untuk meningkatkan efisiensi, mendorong daya saing global, dan memastikan keberlanjutan finansial. Dengan merampingkan manajemen dan mengurangi kelambanan birokrasi, Danantara diharapkan dapat mendorong kinerja yang lebih kuat dan menarik investasi, sehingga memungkinkan BUMN Indonesia untuk menavigasi lanskap ekonomi yang semakin kompleks dengan kelincahan yang lebih besar. Namun di luar peran strukturalnya, Danantara mewujudkan perubahan mendasar dalam filosofi tata kelola—yang memprioritaskan pengambilan keputusan strategis, inovasi, dan penciptaan nilai jangka panjang daripada pola pikir yang hati-hati dan menghindari risiko yang telah lama menghambat kemajuan.

Namun, dengan fleksibilitas baru ini muncul kebutuhan akan pengawasan yang ketat. Danantara tidak boleh menjadi kendaraan untuk memperkaya diri sendiri atau kekuasaan yang tidak terkendali. Sementara UU BUMN yang baru menghilangkan rasa takut akan kriminalisasi yang salah, UU tersebut tidak memberikan kekebalan kepada mereka yang mengeksploitasi posisi mereka untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga, maupun kelompok politik mereka. Aparat penegak hukum memegang kewenangan penuh untuk menyelidiki dan mengadili para eksekutif yang menyalahgunakan sumber daya BUMN, memanipulasi kontrak, atau terlibat dalam kegiatan korupsi. Kewaspadaan publik diperlukan untuk memastikan bahwa Danantara menegakkan mandatnya dengan integritas dan transparansi. Reformasi ini bukanlah celah untuk korupsi—ini adalah kerangka kerja yang dirancang untuk memberdayakan kepemimpinan yang kompeten sambil memastikan bahwa mereka yang mengkhianati kepercayaan publik dimintai pertanggungjawaban sepenuhnya.


Studi Kasus: UU BUMN Baru vs. UU BUMN Lama

Pengalaman kami sebelumnya, khususnya melalui Dr. (Cand) Giovanni Christy, S.H., LL.M., yang merupakan bagian dari tim ahli PT ANTAM, memberikan wawasan langsung mengenai konsekuensi yang tidak diinginkan dari UU BUMN lama. Salah satu kasus yang paling banyak diperdebatkan yang menyoroti kelemahannya adalah kontroversi seputar pemurnian emas dan proses sertifikasi ANTAM.

Melalui merek Logam Mulia, ANTAM telah mengantongi akreditasi dari London Bullion Market Association (LBMA), sehingga emas bersertifikatnya memiliki nilai jual tinggi di pasar global. Banyak perusahaan yang memenuhi standar LBMA mengincar sertifikasi ANTAM, karena emas bermerk ANTAM memiliki harga yang jauh lebih tinggi di pasar domestik dan internasional.

Berdasarkan UU BUMN sebelumnya dan paradigma pertanggungjawaban ex-post UU Tipikor, ANTAM didakwa karena menjual stempel sertifikasinya dengan harga yang dianggap terlalu rendah mengingat kenaikan nilai emas yang cukup besar saat menerima stempel ANTAM. Dakwaan tersebut mengklaim bahwa undervaluasi stempel emas tersebut merupakan kerugian negara sebesar Rp3,3 triliun. Namun, dakwaan tersebut tidak mempertimbangkan bahwa kerugian finansial ini hanya sekadar hipotetis, atau sekadar potensi kerugian, berdasarkan asumsi bahwa ANTAM dapat mengenakan biaya lebih besar, daripada penyalahgunaan dana yang sebenarnya. Kasus ini mencontohkan bagaimana UU BUMN lama memungkinkan kriminalisasi eksekutif bisnis berdasarkan kerugian yang dirasakan atau potensial, daripada niat yang jelas untuk menipu maupun mencuri uang negara.

Dakwaan ini mengabaikan realitas ekonomi dari pemurnian dan sertifikasi emas. Bisnis pemurnian dan pencetakan emas bersifat padat modal, membutuhkan investasi besar, dan ANTAM sendiri tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi permintaan emas tahunan. Secara global, merupakan praktik umum bagi perusahaan sebesar ANTAM untuk bermitra dengan perusahaan-perusahaan afiliasi guna memenuhi permintaan industri, dengan biaya sertifikasi biasanya diperlakukan sebagai biaya operasional standar dan bukan mekanisme yang memaksimalkan laba. Selain itu, kuota produksi emas yang ketat di Indonesia berarti bahwa tanpa kemitraan tersebut, penjualan emas dalam negeri dapat terganggu.

Paradigma baru UU BUMN berupaya mencegah kesalahan penilaian tersebut dengan memastikan bahwa para eksekutif tidak dituntut hanya atas dasar potensi kerugian finansial. Sebaliknya, tanggung jawab dinilai berdasarkan niat, due dilligence, dan kepatuhan terhadap prinsip tata kelola perusahaan. Meskipun korupsi tetap dapat dihukum, undang-undang tersebut mencegah para eksekutif dituntut secara tidak adil karena membuat keputusan bisnis yang mungkin tampak kurang optimal tetapi wajar pada saat itu.

Kasus ini menyoroti bagaimana UU BUMN lama menghambat pengambilan keputusan karena takut dituntut, yang berujung pada perilaku menghindari risiko dan inefisiensi di BUMN. Dengan memperjelas batasan hukum dan berfokus pada pelanggaran aktual daripada kerugian hipotetis, UU baru ini bertujuan untuk menciptakan pendekatan yang lebih seimbang yang mendorong akuntabilitas dan inovasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDIndonesian